Corat-coret
di Toilet: Buku Harian Milik Umum
Judul : Corat-coret di Toilet
Penulis
: Eka Kurniawan
Penerbit
: PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 125 halaman
Nomor ISBN :
978-602-03-0386-4
Tahun Terbit : April 2014
Pic. Nofisha Arianti |
Corat-coret
di Toilet adalah salah satu kumpulan cerita pendek karya penulis Eka Kurniawan.
Seperti Kurnia Effendi dalam cerpennya yang berjudul Relung Telinga, salah satu keunikannya adalah
penulis tidak memberikan satupun nama pada setiap tokoh. Namun tentu saja mereka menjelaskan secara detail karakter dari masing-masing tokoh. Pada cerpen ini, dari judulnya saja
dapat menarik minat pembaca untuk menengok lebih dalam apa saja tulisan yang
dibuat, dan siapa saja yang terlibat. Setting tempat toilet tersebut terletak
di suatu kampus, yang mana tentunya siapa saja boleh menggunakan karena
bersifat umum.
Tokoh pertama yang muncul adalah seorang anak punk yang dengan mulus menulis
curhatannya di dinding toilet yang baru saja dicat krem. “Reformasi gagal total, Kawan! Mari tuntaskan revolusi
demokratik!”. Lalu
seorang mahasiswa tertarik untuk membalas celetukan si anak punk dengan sebuah
pena. “Jangan memprovokasi! Revolusi tak
menyelesaikan masalah. Bangsa kita mencintai kedamaian. Mari melakukan
perubahan secara bertahap”. Dari kedua ujaran tersebut terlihat jelas penulis
seolah mewakili isi hati masyarakat dari dua orang yang berbeda, anak punk dan
mahasiswa.
Tokoh yang ketiga berasal dari gadis tomboi, namun lipstik menjadi salah satu
barang yang tersimpan rapi di dalam tasnya. Dengan barang itu pula ia
menyalurkan aspirasinya. “Kau pasti antek tentara! Antek orde baru! Feodal, burjois, reaksioner
goblok! Omong-kosong reformasi, persiapkan revolusi!” Lalu hujatan itu dibalas oleh seorang pria, yang bisa
dikatakan playboy karena dia malah nyeletuk, “Hai, Gadis! Aku suka gadis revolusioner. Mau kencan denganku?” Dari tokoh pria yang satu ini, penulis berhasil
menyisipkan humor ditengah-tengah celetukan yang membara.
Tokoh berikutnya adalah gadis centil yang tidak hanya bermaksud untuk membuang
hajat di toilet, namun mengolesi wajahnya dengan berbagai alat kosmetiknya.
Melihat tulisan terakhir yang terpampang di dinding, ia pun tergoda untuk
membalas dengan lipstik yang ia miliki, “Mau kencan denganku? Boleh! Jemput jam sembilan malam di cafe. NB: jangan
bawa intel.” Dinding
berwarna krem itu pun kini dihiasi oleh sejumlah coretan, seolah toilet itu
memiliki fungsi lain, yaitu buku harian milik umum.
Tokoh keenam berasal dari seorang pria yang memakai anting, bisa dibilang salah
satu teman si anak punk. “Kawan, kalau kalian sungguh-sungguh revolusioner,
tunjukkan muka kalian kalau berani. Jangan cuma teriak-teriak di belakang,
bikin rusuh, dasar PKI!” Dari tegurannya itu seolah mencari aman karena takut
terdengar oleh pemerintah. Waktu berlalu, kian hari kian semaraklah tulisan di
dinding toilet itu. Hingga pada suatu hari toilet jadi jarang pengunjung karena
ada satu oknum yang tidak memiliki etika: tidak membersihkan apa yang telah ia
buang! Namun akhirnya ada mahasiswa heroik yang dengan rela melenyapkan barang
menjijikan itu. Dengan spidol birunya, ia menulis, “Ini dia reaksioner brengsek, yang ngebom tanpa
dibanjur! Jangan-jangan tak pernah cebok pula. Hey, Kawan, aku memang PKI:
Penggemar Komik Indonesia. Kau mau apa, heh?” Gaya
bahasa yang ia gunakan terdengar khas mahasiswa, yang meletup-letup jika
bicara.
Tokoh yang kedelapan adalah tipe mahasiswa yang patut akan aturan, tapi kali
ini ia gemas bukan buatan melihat ukiran di dinding tanpa dosa itu. Akhirnya ia
menulis, “Kawan-kawan,
tolong jangan corat-coret di dinding toilet. Jagalah kebersihan. Toilet bukan
tempat menampung unek-unek. Salurkan saja aspirasi Anda ke bapak-bapak anggota
dewan.” Walaupun mahasiswa itu dengan
selembut mungkin menyampaikan anjurannya, tapi penulis berhasil membuat keadaan
kian nyinyir. Dari sekian celotehan, pada bagian akhir adalah favorit saya.
Tulisan ini merupakan tanggapan dari mahasiswa berbudi luhur tadi. “Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih
percaya kepada dinding toilet”. Yang
dibalas dengan jawaban yang sama, oleh orang yang berbeda-beda, “Aku juga”.
Dari kalimat pendek “aku juga”, para pengunjung toilet
seakan sepakat untuk menentang tulisan mahasiswa terakhir yang menganjurkan
untuk menyalurkan aspirasi kepada anggota dewan. Melalui kisah yang pada
umumnya orang pasti mengalami dan menemukan hal serupa, coret-coret di toilet,
penulis menjadikan cerita ini sebagai bentuk aspirasi masyarakat. Dengan
membaca cerpen ini saya sebagai pembaca, anggota masyarakat, dan reviewer merasakan
pesan moral yang disampaikan oleh penulis, tapi tidak terkesan menggurui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar