Javier: Novel di Dalam Novel (Kontrasnya Kelas Sosial)

Javier: Novel di Dalam Novel (Kontrasnya Kelas Sosial)
Judul : Javier
Penulis  : Jessica Huwae
Penerbit  : Bentang Pustaka
Jumlah halaman : viii + 264 halaman + 20,5 cm
Nomor ISBN :  978-602-291-076-3

Pic. Nofisha Arianti
   Javier adalah seorang penulis novel yang prestasinya cemerlang, bukunya laris di pasaran, mendapat berbagai penghargaan sampai tahap internasional, pun memiliki istri yang bertawa renyah, Duma. Tapi akhir-akhir ini semua kecemerlangan itu lenyap satu-persatu. Ditinggal istiri, dan menjadi penulis karirnya diujung tanduk karena deadline yang menyempit, siapa yang kira? Karena terus didesak oleh editornya, Rosi, Javier minggat ke puncak Bogor untuk mencerahkan pikirannya ditemggat deadline yang tinggal 30 hari. Namun tentu saja ada orang yang masih menyayanginya, Saosan. Sahabat yang menaruh hati padanya.
          “Kawasan ini pernah bergeliat walau sesaat, sebelum menjelma menjadi seperti orangtua yang ditinggalkan anak-anaknya merantau ke tempat-tempat yang jauh. Menjadi tua dan kesepian.” (halaman 32). Salah satu kekuatan Jessica dalam menulis setting adalah menggambarkannya secara detail dan memakai perumpamaan. Seakan pembaca berada tempat yang dijelaskan, seolah pembaca merasakan apa yang diumpamakan.
          “Asal mau berusaha, hidup akan menyediakan segalanya” (halaman 49). Ucapan kalimat ini dicetuskan oleh Ganes, seorang pria yang merasa dikhianati oleh dunia. Ia tak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, juga kekasihnya yang lebih memilih kawin kontrak untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Yang pada akhirnya ditemukan tewas. Kini Ganes menjadi pegawai untuk menawarkan villa kepada para pengunjung puncak. Javier merasa puas dengan villa dan harga yang ditawarkannya. Selagi pak Tohir, pengurus villa yang membersihkan dan menyiapkan segala sesuatunya, Javier dan Ganes makan siang bersama dan saling bertukar cerita.
       Bagian satu sampai dengan sebelas, Jessica mengenalkan Javier serta seluk-beluk kehidupannya. Ia berasal dari keluarga broken home, karena ibu dan ayahnya beda agama. Meski telah berusaha menerapkan toleransi, tapi sepertinya mereka menemukan jalan buntu. Jadilah Javier tumbuh tanpa agama, meski percaya adanya Tuhan. Pada bagian dua belas, Jessica mengenalkan cerita di dalam cerita. Disini Javier, sebagai penulis, mulai menceritakan karyanya. Salah satu inspirasi terbesarnya ia temukan melalui tumpukan buku, jurnal dan surat yang ia baca di rak buku milik si empunya villa.
        “Katanya, tempat bisa membawa perubahan yang berarti. Sekarang aku mengerti megapa Hemingway menyebut Havana sebagai tempat ynag inspiratif baginya untuk menulis” (halaman 69). Javier merasa keputusannya singgah di puncak adalah yang paling tepat karena ia bisa berjam-jam menulis sampai pinggangnya terasa pegal. Bagi beberapa orang mungkin tempat adalah elemen penting dalam proses menulis, tapi bagi saya tidak begitu. Saya sering bilang, “waktunya kurang pas”, atau “tempatnya gak asik”. Namun kadang ide muncul dimana saja dan kapan saja, yang harus dilawan adalah rasa malas.
       Javier adalah sosok pria yang cukup lihai memelihara perasaannya dan memendam rapat-rapat memorinya. “Jangan khawatir, Javier. Kamu orang baik. Kamu pasti akan segera menemukan orang yang sungguh-sungguh mengerti dirimu. Keadaanmu. Maafkan aku, ya.” (halaman 72). Potongan ini terjadi saat Duma membawa koper dan kamera SLRnya untuk meninggalkan rumah mungilnya bersama Javier. Pertemuannya dengan Duma dikisahkan sebagai cinta pandangan pertama. Mungkin cerita macam ini sudah banyak, tapi Jessica meramunya dengan cerdik. Di beberapa kalimat yang Javier ucapkan, si tokoh sendiri seakan tidak percaya akan adanya cinta pandangan pertama, tapi memang itulah yang terjadi kepadanya.
     “Pada dasarnya, usia memang tidak bisa membohongi pengalaman. Saat kau masih hijau, kau cenderung mengungkapkan dan menampakkan isi hatimu begitu jelas kepada semua orang. Itu sebabnya kau melakukan banyak kesalahan.” (halaman 94). Di beberapa bagian, penulis menggunakan kata ganti “kau”. Menurut saya, hal ini mengakibatkan kesan menggurui terhadap pembaca. Seperti pada potongan halaman 94, ketika Javier tiba-tiba bertemu Tanaya. Gadis berusia di awal dua puluhan, yang ternyata gadis pemilik villa. Ia tipe gadis kota besar yang manja dan meledak-ledak. Awalnya Javier merasa risih karena Tanaya tak jarang mengganggunya saat menulis. Namun akhirnya ia paham bahwa ia gadis yang kesepian yang sedang mencari perhatian.
        “Untuk menerima kenyataan bahwa dunia adalah tempat yang dingin dan kejam. Saat kami berpikir telah merderka dari kewajiban mengerjakan tugas dan membaca buku-buku kuliah, saat itulah sebenarnya kepolosan dan kebebasan kami terenggut” (halaman 97). Argumen ini dikemukakan oleh Javier saat mengbrol dengan Tanaya. Sebagai pembaca yang baru sidang skripsi, saya juga merasakannya. Membaca bagian ini seperti ada cermin tak kasat mata.
      “Walau kekuatan gravitasi telah mengkhianatinya, aku melihat tubuh tegapnya masih merekam kekuatan dan kejayaan pria itu pada masa muda. Aku mengira-ngira seperti apakah Tanaya akan menjalani hidup setelah mengetahui sejarah yang dipercayainya selama bertahun-tahun ternyata adalah rekaan yang diciptakan baginya” (halaman 235). Pada bagian ini, telah terjadi sesuatu yang besar bagi Tanaya. Akhirnya ia mengetahui bahwa ayah dan ibunya bukan meninggal karena kecelakaan, tapi lebih dari itu. Padma dan Bernadus Tirto, yang akhirnya mengganti nama dan identitasnya menjadi Yogi Tirta adalah pasangan yang dipisahkan karena srata sosial. Padma seorang anak jenderal Usman Abidin, yang tak lain adalah kakek Tanaya, tidak ingin memiliki menantu seorang bawahannya, yaitu Bernadus. Walaupun Padma telah hamil, ia malah dinikahi dengan seseorang yang tak pernah dikenalnya, seorang pengusaha kayu.
    Berbagai usaha telah dilalui oleh kedua anak muda itu, termasuk Bernadus meninggalkan kesatuannya sebagai prajurit TNI. Ia memilih menjadi pribadi yang baru, yang akhirnya menjadi pengusaha. Namun Padma seolah tidak tahan dengan semua keotoriteran Usman Abidin, ia merasa dibuang. Saat Padma tinggal di rumah budenya di villa yang ditempati Javier sekarang, ia memutuskan mengakhiri hidupnya dengan cara yang mengenaskan. Gantung diri. Selama hidup ia terus menulis surat dan tentang kehidupannya bersama Tanaya, yang tak pernah sampai kepada tangan Bernadus.
       Setelah perjalanan panjang yang dilaluinya, akhirnya Javier menepati deadline nya kepada Rosi. Dan Saosa, sahabatnya yang selalu memberi dukungan, kini menjadi kekasihnya. Javier kini membuktikan kepada Herman Harahap, kritikus sastra yang sering mencemoohnya lewat tulisan. Tiba-tiba Duma, mantan instrinya itu, menelpon untuk mengundanya ke acara pameran yang akan ia selenggarakan. Ya, sekarang mimpinya menjadi fotografer sudah terwujud.
“Kita bisa melakukan ini sekali lagi, Javier. Kita berdua, aku dan kamu”
Aku tidak berkunjung berkata apa-apa dan hanya menatap sepasang mata bening yang penuh harap itu, lama sekali (halaman 257). Ending ceritanya terasa menggantung, tapi saya tipe pembaca yang lebih suka jenis ini. Karena pembaca bisa bebas menentukan seperti apa akhirnya. Dan saya memutuskan Javier menolak Duma, karena sebelumnya ia mengatakan, “memberiku pilihan tepat pada saat aku telah membuat pilihan”.
        Jadi dapat disimpulkan bahwa penulis menuangkan dua ide certia dalam satu novel, dengan tema yang sama. Cinta yang dipisahkan oleh kelas sosial. Bedanya, Padma dan Bernadus pada masa-masa rusuh di Indonesia, terdapat beberapa potongan terjadinya kerusuhan. Sedangkan Javier dan Duma adalah kisah masa kini, dimana semua orang bebas menentukan pilihan dan pendapat. Tetapi makna bebas bukan berarti dapat melepas semaunya, dan menarik sekenanya. Kelas sosial ini bisa jadi disebabkan oleh adanya akibat kolonialisme, seperti yang telah saya review di novel Cinta di Dalam Gelas.

         
         


Corat-coret di Toilet: Buku Harian Milik Umum

Corat-coret di Toilet: Buku Harian Milik Umum
Judul : Corat-coret di Toilet
Penulis  : Eka Kurniawan
Penerbit  : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 125 halaman
Nomor ISBN :  978-602-03-0386-4
Tahun Terbit : April 2014

Pic. Nofisha Arianti
          Corat-coret di Toilet adalah salah satu kumpulan cerita pendek karya penulis Eka Kurniawan. Seperti Kurnia Effendi dalam cerpennya yang berjudul Relung Telinga, salah satu keunikannya adalah penulis tidak memberikan satupun nama pada setiap tokoh. Namun tentu saja mereka menjelaskan secara detail karakter dari masing-masing tokoh. Pada cerpen ini, dari judulnya saja dapat menarik minat pembaca untuk menengok lebih dalam apa saja tulisan yang dibuat, dan siapa saja yang terlibat. Setting tempat toilet tersebut terletak di suatu kampus, yang mana tentunya siapa saja boleh menggunakan karena bersifat umum.
          Tokoh pertama yang muncul adalah seorang anak punk yang dengan mulus menulis curhatannya di dinding toilet yang baru saja dicat krem. “Reformasi gagal total, Kawan! Mari tuntaskan revolusi demokratik!”. Lalu seorang mahasiswa tertarik untuk membalas celetukan si anak punk dengan sebuah pena. “Jangan memprovokasi! Revolusi tak menyelesaikan masalah. Bangsa kita mencintai kedamaian. Mari melakukan perubahan secara bertahap”. Dari kedua ujaran tersebut terlihat jelas penulis seolah mewakili isi hati masyarakat dari dua orang yang berbeda, anak punk dan mahasiswa.
          Tokoh yang ketiga berasal dari gadis tomboi, namun lipstik menjadi salah satu barang yang tersimpan rapi di dalam tasnya. Dengan barang itu pula ia menyalurkan aspirasinya. “Kau pasti antek tentara! Antek orde baru! Feodal, burjois, reaksioner goblok! Omong-kosong reformasi, persiapkan revolusi!” Lalu hujatan itu dibalas oleh seorang pria, yang bisa dikatakan playboy karena dia malah nyeletuk, “Hai, Gadis! Aku suka gadis revolusioner. Mau kencan denganku?” Dari tokoh pria yang satu ini, penulis berhasil menyisipkan humor ditengah-tengah celetukan yang membara.
          Tokoh berikutnya adalah gadis centil yang tidak hanya bermaksud untuk membuang hajat di toilet, namun mengolesi wajahnya dengan berbagai alat kosmetiknya. Melihat tulisan terakhir yang terpampang di dinding, ia pun tergoda untuk membalas dengan lipstik yang ia miliki, “Mau kencan denganku? Boleh! Jemput jam sembilan malam di cafe. NB: jangan bawa intel.” Dinding berwarna krem itu pun kini dihiasi oleh sejumlah coretan, seolah toilet itu memiliki fungsi lain, yaitu buku harian milik umum.
          Tokoh keenam berasal dari seorang pria yang memakai anting, bisa dibilang salah satu teman si anak punk. “Kawan, kalau kalian sungguh-sungguh revolusioner, tunjukkan muka kalian kalau berani. Jangan cuma teriak-teriak di belakang, bikin rusuh, dasar PKI!” Dari tegurannya itu seolah mencari aman karena takut terdengar oleh pemerintah. Waktu berlalu, kian hari kian semaraklah tulisan di dinding toilet itu. Hingga pada suatu hari toilet jadi jarang pengunjung karena ada satu oknum yang tidak memiliki etika: tidak membersihkan apa yang telah ia buang! Namun akhirnya ada mahasiswa heroik yang dengan rela melenyapkan barang menjijikan itu. Dengan spidol birunya, ia menulis, “Ini dia reaksioner brengsek, yang ngebom tanpa dibanjur! Jangan-jangan tak pernah cebok pula. Hey, Kawan, aku memang PKI: Penggemar Komik Indonesia. Kau mau apa, heh?” Gaya bahasa yang ia gunakan terdengar khas mahasiswa, yang meletup-letup jika bicara.
          Tokoh yang kedelapan adalah tipe mahasiswa yang patut akan aturan, tapi kali ini ia gemas bukan buatan melihat ukiran di dinding tanpa dosa itu. Akhirnya ia menulis, “Kawan-kawan, tolong jangan corat-coret di dinding toilet. Jagalah kebersihan. Toilet bukan tempat menampung unek-unek. Salurkan saja aspirasi Anda ke bapak-bapak anggota dewan.” Walaupun mahasiswa itu dengan selembut mungkin menyampaikan anjurannya, tapi penulis berhasil membuat keadaan kian nyinyir. Dari sekian celotehan, pada bagian akhir adalah favorit saya. Tulisan ini merupakan tanggapan dari mahasiswa berbudi luhur tadi. “Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya kepada dinding toilet”. Yang dibalas dengan jawaban yang sama, oleh orang yang berbeda-beda, “Aku juga”.
          Dari kalimat pendek “aku juga”, para pengunjung toilet seakan sepakat untuk menentang tulisan mahasiswa terakhir yang menganjurkan untuk menyalurkan aspirasi kepada anggota dewan. Melalui kisah yang pada umumnya orang pasti mengalami dan menemukan hal serupa, coret-coret di toilet, penulis menjadikan cerita ini sebagai bentuk aspirasi masyarakat. Dengan membaca cerpen ini saya sebagai pembaca, anggota masyarakat, dan reviewer merasakan pesan moral yang disampaikan oleh penulis, tapi tidak terkesan menggurui.
         

Cuaca: Menelaah Suasana Hati (Prosa dalam Filosofi Kopi)


Cuaca: Menelaah Suasana Hati
Pic. Nofisha Arianti

Judul : Cuaca dalam Filosofi Kopi (Kumpulan Cerita & Prosa Satu Dekade)
Penulis  : Dee (Dewi Lestari)
Penerbit  : Truedee Books & GagasMedia
Jumlah halaman : xi + 134 halaman ; 20,5 cm
Nomor ISBN :  979-96257-3-4
Tahun Cetakan : Cetakan 1, 2006

                            Cetakan 8, 2007
         Cuaca adalah salah satu prosa dalam kumpulan cerita Filosofi Kopi. Cerpen ini ditulis pada tahun 1998. Sebelum membaca prosa ini, umumnya pembaca mengenal kata mendung, cerah, berawan sebagai kategori kedalam cuaca. Saya sebagai pembaca pun telah memiliki prediksi bahwa prosa tersebut dapat dikaitkan dengan suasana hati. Prosa ini hanya terdiri dari dua halaman, tapi sangat padat makna tersirat di dalamnya.
          Bagaimana cuacamu?’
          ‘Aku biru’
          ‘Aku kelabu’ (halaman 85)
          Biru, termasuk ke dalam warna primer yang  mengalirkan semangat bagi yang melihat karena cerahnya yang sejuk di mata. Hal ini sesuai dengan hukum alam, dimana langit akan berwarna biru memancarkan kehangatan bagi makhluk di muka bumi. Sebaliknya, ketika ia sedih atau kesal, ia merubah warnanya menjadi kelabu. Maka dari itu, warna kelabu identik dengan bermuram durja. Kita biasanya menggunakan warna itu ketika sedang dilanda rindu, karena tak kunjung bertemu si dia. Atau bisa juga ketika mendapat masalah, yang tak kunjung menemukan solusinya.
          ‘Bagaimana cuacamu?’
          ‘Aku cerah, sama sekali tidak berawan. Kamu?’
          ‘Bersih dan terang. Tak ada awan.’ (halaman 86)
          Frase ‘sama sekali’ terdengar ingin meyakinkan lawan bicara bahwa  ia memang baik-baik saja. Namun belum tentu apa yang terucap itu adalah gambaran sesungguhnya yang ada di hati. Frase ‘bersih dan terang’ bisa saja memiliki arti sebenarnya sebagai ‘kotor dan gelap’. Dengan kata lain, orang yang memilih frase ini merupakan ironi.
        “Cuaca demi cuaca melalui kami, dan kebenaran akan semakin dipojokkan. Sampai akhirnya nanti, badai meletus dan menyisakan kejujuran yang bersinar. Entah menghangatkan atau menghanguskan” (halaman 86). Pada bagian penghujung prosa, sebagai pembaca saya merasa Dee mengingatkan pembacanya untuk jujur terhadap cuaca yang mereka pilih. Dengan kata lain, saya menyimpulkan ada dua tipe orang; si cerah dan si kelabu. Satu yang lebih memilih jujur walaupun menyakitkan, satu lainnya lebih memilih bohong dengan kehangatan yang semu.

Sikat Gigi: Pelarian Hati (Cerpen dalam Filosofi Kopi)



                     Sikat Gigi: Pelarian Hati

Pic. Nofisha Arianti
Judul : Sikat Gigi dalam Filosofi Kopi (Kumpulan Cerita & Prosa Satu Dekade)
Penulis  : Dee (Dewi Lestari)
Penerbit  : Truedee Books & GagasMedia
Jumlah halaman : xi + 134 halaman ; 20,5 cm
Nomor ISBN :  979-96257-3-4
Tahun Cetakan : Cetakan 1, 2006
                            Cetakan 8, 2007
          Sikat Gigi adalah salah satu cerpen dalam kumpulan cerita Filosofi Kopi. Cerpen ini ditulis pada tahun 1999. Ketika pertama kali membaca judulnya, saya sebagai pembaca dibuat penasaran tentang apakah cerpen ini akan bermuara. Dee memang terkenal sebagai penulis yang sering menyuguhkan cerita yang mencengangkan bagi para pembacanya.
          Seperti cerpen lainnya, tema besar dari cerpen ini adalah seputar kisah cinta. Lebih tepatnya si tokoh pria yang mencintai si tokoh wanita, namun si tokoh wanita masih mencintai pria yang entah sekarang di negeri antah-berantah sebelah mana. Namun tentu saja Dee memiliki kekhasan tersendiri dalam mengolah kisah cinta yang tragis itu. Egi, sebagai tokoh wanita dan Tio sebagai tokoh pria. Sedangkan si pria masa lalu tidak disebutkan namanya.
          “Dalam balutan jaketku Egi meringkuk. Sorot matanya masih melayang-layang. Aku tahu apa yang ia lamunkan, apalagi setelah mendengar helaan napasnya, tapi enggan aku bertanya. Buat apa mengungkit sesuatu yang hanya membuat pikiranku terganggu” (halaman 56). Ungkapan Tio pada bagian ini menjadi titik awal dimana pembaca paham bahwa Tio menaruh hati pada Egi, tapi tidak berbalas.
          Mereka telah bersahabat bertahun-tahun, walaupun keduanya memiliki kepribadiaan yang bertolak belakang. Egi, seorang pujangga yang jika mengungkapkan isi hati menggunakan kata-kata yang sulit dipahami oleh Tio. Seorang pria yang bergelar ET, yang mana mengedepankan rasional dan tak mau rugi. “Waktu saya menyikat gigi, saya tidak mendengar apa-apa selain bunyi sikat. Dunia saya mendadak sempit... Cuma gigi, busa dan sikat. Tidak ada ruang untuk yang lain. Hitungan menit, Tio, tapi berarti banyak” (halaman 58). Pada bagian ini, akhirnya pembaca tahu bahwa Egi menjadikan sikat gigi sebagai pelariannya. Ia memanfaatkan waktu berlama-lama untuk menyikat gigi agar melupakan si pria masa lalunya.
       “Saya tidak pernah mengerti dunia dalam lamunan kamu,” kata-kata itu akhirnya meluncur keluar, “pengaharapan yang kamu punya, dan kekuatan macam apa yang sanggup menahan kamu begitu lama di sana. Tapi kalau memang sikat gigi itu tiket yang bisa membawa kamu pulang, saya ingin kamu semakin lama menyikat gigi, semakin asyik, sampai moga-moga lupa berhenti. Karena berarti kamu lebih lama lagi di sini, di dunia yang saya mengerti. Satu-satunya tempat saya eksis buat kamu”.
          Tio mengungkapan perasaannya ketika Egi berulang tahun ke-27, dan ia memberikan kado sikat gigi. Tio merasa tidak tahan lagi terhadap pikiran Egi yang tidak pernah ia mengerti, kenapa pujangga itu selalu memikirkan pria yang belum tentu juga memikirkannya. Setelah malam itu, mereka, dua sahabat lama kini berjauhan seolah tak kenal satu sama lain. Dalam jarak satu tahun itu, Egi dan Tio sama-sama berpikir, dan pada akhirnya mereka tahu kemana cinta itu harus berlabuh. Ungkapan Egi berikut ini membuat pembaca tersenyum. “...Tapi ke mana pun saya pergi, kamu tetap orang yang paling nyata, paling berarti. Saya tidak mesti menyikat gigi untuk bisa pulang. Kamulah tiket sekali jalan”.

          Cerpen Sikat Gigi layak dibaca untuk remaja, dewasa dan orang tua. Ada sejuta kisah cinta serupa itu, tapi Dee meramunya dengan cara yang lain. Kisah Egi dan Tio mengingatkan pada kisah Ikal dan A Ling. Ikal berkata, “Dunia ini rupanya penuh dengan orang yang kita inginkan, tapi tak menginginkan kita, dan sebaliknya” (halaman 202). Tetapi pada akhirnya mereka mendapatkan akhir yang manis.

Edensor: Mimpi Masih Berlanjut

Edensor: Mimpi Masih Berlanjut
Pic. Nofisha Arianti
Judul : Edensor
Penulis  : Andrea Hirata
Penerbit  : Bentang Pustaka
Jumlah halaman : xii + 290 halaman; 20,5 cm
Nomor ISBN :  978-602-8811-09-5
Tahun Cetakan : Cetakan Pertama, Mei 2007
Cetakan Kedua, Juli 2007
Cetakan Ketiga, Agustus 2007
Cetakan Keempat, Oktober 2007
             Novel Edensor adalah novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi. Pada novel pertama penulis dengan apik menjelaskan kehidupan Ikal dan kawan-kawannya yang memiliki mimpi tinggi walaupun berada di penjuru Indonesia. Novel kedua, mengisahkan betapa beruntungnya Ikal, Arai dan Jimbron dapat meneruskan sekolah ke tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) walaupun harus menjadi kuli bangunan saat tidak berseragam. Pada akhirnya di novel ketiga, perjuangan para pemimpi dapat terkabul, Ikal dan Arai berhasil menembus Eropa. Dilihat dari jumlahnya cetakan, mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia sangat berminat terhadap novel ketiga ini.
          “Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu,” katanya. Esoknya Arai menumpang truk ke Tanjong Pandan. Ia terbanting-banting di dalam bak, berdiri di celah tong-tong timah, hanya untuk membeli poster Jim Morrison. Ikal yang telah ditinggal pergi oleh kedua orangtuanya sejak masih kecil, tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan pantang menyerah. Tak jarang ia menguatkan Ikal akan mimpi-mimpinya, walaupun ia sendiri tak tahu apakah mimpinya akan terwujud atau tidak.
          “Sekecil apapun hal terjadi karena memang suatu alasan” (halaman 258-259). Para tokoh yakin bahwa semua yang telah mereka raih memang karena usaha, kerja keras dan doa yang selalu mereka lakukan. Tidak ada kata “beruntung” dalam kamusnya. Menjadi mahasiswa di universitas ternama di Eropa tidaklah mudah. Ketika Ayah mengirimi surat tentang keadaan ekonomi di kampung, Ikal dan Arai merasa harus segera pulang. Namun tentu saja tidak bisa karena mereka belum merampungkan kuliahnya. “Tertawalah, seisi dunia akan tertawa bersamamu: jangan bersedih karena kau hanya akan bersedih sendirian”. Kutipan tersebut membuat pembaca sadar bahwa tidak ada faedahnya jika berlarut-larut dalam keterpurukan.
          Ditengah hiruk-pikuk mahasiswa, penulis juga menyuguhkan kawan-kawan dari berbagai penjuru dunia dan mendeskripsikannya secara detail. Dari segi layout, dalam novel ini terdapat beberapa ilustrasi gambar mengenai tempat dan tokoh sehingga membantu mengembangkan imajinasi pembaca. Dari novel Edensor, saya sebagai pembaca dan reviewer mengklaim bahwa novel ini dapat dibaca oleh semua kalangan. Karena di dalamnya mengandung banyak kisah yang menggambarkan jatuh-bangunnya para pemimpi. Setelah satu mimpi telah digugurkan, mimpi yang lain harus tumbuh. Karena hidup tanpa mimpi, bagaikan hidup tapi tak hidup.


Padang Bulan: Mimpi dan Kenyataan

          Padang Bulan: Mimpi dan Kenyataan

Pic. Nofisha Arianti
Judul : Padang Bulan
Penulis  : Andrea Hirata
Penerbit  : Bentang Pustaka
Jumlah halaman : xii + 254 halaman; 20,5 cm
Nomor ISBN :  978-602-8811-09-5

          Novel pertama dwilogi Padang Bulan menggambarkan betapa dekatnya hubungan antara mimpi dan kenyataan. Salah satu ciri khas Andrea Hirata adalah tokoh utama yang memiliki mimpi luar biasa. Sudut pandang pada mozaik 1 dan mozaik2  penulis  menggunakan sudut pandang orang ketiga. Sedangkan mozaik 4 menetapkan sudut pandang orang pertma, yaitu Enong. Dimulai dari mozaik 5 penulis menerapkan sudut pandang orang pertama, yaitu Ikal. Dalam novel ini, Enong, gadis berumur 14 tahun menjadi pusatnya. Pada awal cerita, penulis menampakkan keluarga pendulang timah yang bahagia, terdiri dari Zamzami, Syalimah, Enong dan dua adiknya. Masalah timbul ketika Zamzami, sang kepala keluarga berniat memberikan kejutan pada istrinya, Syalimah.
          “Aih, janganlah begitu, Pak Cik. Kita ini orang miskin. Orang miskin tak kenal kejutan” (halaman 1). Ucapan Syalimah mengindikasikan persepsi yang ia miliki bahwa hanya orang kaya yang berhak untuk mendapatkan kejutan. Dalam hal ini, ada persamaan karakter dengan seorang tokoh dalam cerpen Tai Lalat karya Pramoedya Ananta Toer. “Memang bukan kemerdekaan bagi orang-orang seperti kami, karena kami hanya batu-batu kerikil buat fondasi kemerdekaan”. Terasa kental dampak kolonialisme di Indonesia karena jajahan Jepang dan Belanda.
          Setelah Zamzami meninggal karena tertimbun tanah saat mendulang timah, kehidupan keluarganya seketika lumpuh. Hal ini disebabkan karena hanya Zamzami yang mencari nafkah. Pada akhirnya, Enong yang sedang giat-giatnya belajar bahasa Inggris terpaksa harus berhenti sekolah demi keberlangsungan hidup keluarganya. Setelah merantau ke Tanjong Pandan, lebih perih lagi karena tak satupun toko atau warung yang memperkenankannya untuk bekerja dengan berbagai alasan. Dari kejadian tersebut, menyadarkan pembaca akan pentingnya kesataraan gender antara laki-laki dan perempuan. Dewasa ini, tidak hanya kaum adam yang bertugas untuk mencari rezeki, tapi juga perempuan. Sebagian besar pendukung teori feminisme memperhatikan dengan antusiasme tinggi pentingnya kesetaraan antara kaum pria dan wanita dalam bidang sosial, politik dan ekonomi (Musthafa, 2008: 85).
          Sepanjang sejarah orang Melayu, barulah Enong yang menjadi pendulang pertama perempuan. Walaupun ada seribu bahaya yang bisa ia dapatkan, tapi gadis kecil itu tetap mengabdi untuk kelurganya, ibu dan kedua adik perempuannya. Enong yang masih belia, tak mengerti perhitungan timah, menurut saja pada si tukang takar. Padahal tak jarang ia mengurangi timbangannya. Selain itu ada sekelompok pria yang pernah mengejar-ejar Enong dengan sejumlah anjing pula, membuat Enong trauma jika mendengar salakan anjing. Namun hal itu semua terbayarkan lunas saat mereka berhadapan di arena percaturan (kisah selengkapnya di novel kedua dwilogi Padang Bulan). Sejak kelas 4 sekolah dasar, ia memiliki rasa yang aneh terhadap teman sekelasnya, Ilham. Namun teramat perih dan terlambat bagi Enong, yang mulai beranjak dewasa bahwa Ilham sudah memiliki istri dan anak yang lucu, saat mereka bersua di pasar disuatu hari.
          “Ayah juara satu seluruh dunia. Kini ia harus ku tentang. Keadaan ini benar-benar menghancurkanku” (halaman 47). Selain permasalahan Enong, penulis juga memunculkan konflik antara Ikal, ayah, dan A Ling. Seperti yang telah diceritakan pada tetralogi Laskar Pelangi, kisah cinta Ikal dan A Ling bermula dari mereka masih duduk di sekolah dasar. Tanpa pernah ada perempuan lain yang bisa memikat Ikal, kini ayahnya menentang keberlanjutan hubungan mereka. Permasalahan pun kian memanas ketika sahabat Ikal, detektif M. Nur, memberi kabar bahwa A Ling tengah dekat dengan Zinar.
          Pada mozaik 20, antara Enong dan Ikal bertemu di kantor pos. Ketika Ikal mulai menyerah dengan kisah cintanya yang tragis, dan hendak melayangkan lamaran pekerjaan ke ibu kota. “Jika kau terjun, terjunlah kau sendiri” (halaman 113). Dua kalimat itu, walaupun pendek, membuka mata pembaca bahwa betapapun memiliki keluarga yang lengkap, sahabat yang setia, tetap saja pada akhirnya kita memilih jalan sendiri-sendiri. Ide gila Ikal muncul dengan membatalkan keberangkatannya ke Jakarta: ia ingin melawan Zinar dengan bertarung catur di acara rutin Agustus tiap tahunnya. “Jadi, kau pikir hanya karena kau punya kawan seorang guru catur di negeri antah-berantah sana, lalu kau bisa main catur? Kutaksir, ijazah-ijazahmu ini banyak yang palsu, Bujang” (halaman 148). Meskipun ibunda Ikal tampak kesal, namun penulis menyisipkan rasa humor di dalamnya, sekaligus ironi.
          Walaupun Enong sudah lama berhenti sekolah, minatnya terhadap bahasa Inggris tak pernah pudar. Kamus pemberian ayahnya selalu ia bawa, pun saat ia mendulang timah. Bahkan ia rajin bertukar kabar dengan sahabat penanya, Minarni berasal dari Jawa. Meskipun Enong sangat menyukai bahasa asing itu, ia tidak pernah melupakan atau mengesampingkan bahasa ibunya. Maka dari itu, Enong dapat menghindari mimikri atau cara meniru budaya orang asing (Rosidi, 1965).
          “Dunia ini rupanya penuh dengan orang yang kita inginkan, tapi tak menginginkan kita, dan sebaliknya” (halaman 202). Ungkapan Ikal yang sedang patah hati memang terdengar syahdu. Ikal yang mencintai A Ling, Bu Indri yang menaruh hati pada Ikal, A Ling yang entah kemana tak ada kabar, mungkin hubungannya semakin dekat dengan Zinar. Ketika Ikal memberi tanda bahwa ia pernah akan ‘bunuh diri’ karena cinta, pada bagian ini menjadi teka-teki bagi pembaca. Percobaan bunuh diri macam apakah yang dilakukan oleh Ikal, lelaki yang menamatkan kuliah magisternya di tanah Eropa.
          Sebagai reviewer, saya berasumsi bahwa novel ini layak dibaca oleh remaja, dewasa dan orang tua. Panggilan “Boi”, “Bujang” adalah kelebihan tersendiri bagi Andrea Hirata karena ia meletakkan budaya Melayu di dalamnya. Namun menurut saya kisah cinta Ikal dan A Ling lebih menonjol daripada kisah Enong sendiri.

Referensi
Musthafa, Bachrudin. (2008). Teori dan Praktik Sastra dalam Penelitian dan Pengajaran. Jakarta: PT. Cahaya Insan Sejahtera.
Rosidi, Ayip. (1965). Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? Jakarta: Bharata.

         
         
         


Cinta di Dalam Gelas: Cinta dan Perjuangan

Cinta di Dalam Gelas: Cinta dan Perjuangan


Pic. Nofisha Arianti
Judul : Cinta di Dalam Gelas
Penulis  : Andrea Hirata
Penerbit  : Bentang Pustaka
Jumlah halaman : vi +270 halaman; 20,5 cm
Nomor ISBN :  978-602-8811-09-5
          Novel kedua dwilogi Padang Bulan mengekspos betapa eratnya kaitan antara cinta dan perjuangan. Jika ada yang bilang, “cinta butuh perjuangan”, maka kisah Enong patut menjadi contohnya. Enong telah membuktikan bahwa dengan cinta dan perjuangan yang sesungguhnya, ia bisa merasakan sacrifice, honesty, freedom, tiga kata ajaib yang selalu membakar semangatnya.
          Cinta Maryamah yang tulus kepada seorang lelaki yang bernama Matarom tidak mendapat balasan yang sebagaimana mestinya, karena ia tipe lelaki yang memiliki peringai buruk. Maryamah memperjuangkan harga dirinya sebagai perempuan dengan mengalahkan sang juara catur selama dua tahun berturut-turut. Jika di Padang Bulan Maryamah menjadi pelopor perempuan pendulang timah yang pertama kali lahir, maka di novel kedua ia menjadi pelopor pecatur perempuan. Setelah bertahun-tahun lamanya, orang Melayu meyakini bahwa catur adalah urusan laki-laki saja. Melihat sejarah yang sedemikian rupa, tentu tidak mudah agar Maryamah dapat mengikuti lomba catur yang diadakan rutin setiap bulan Agustus itu. Ada orang-orang yang setia menemani dibalik layar.
          Selamot, Giok Nio dan Grand Master Ninockha Stronovsky adalah para perempuan yang mendukung Maryamah tanpa pamrih. Selain itu Ikal, Detektif M. Nur, preman cebol beserta masing-masing burung merpati mereka, Joze Rizal dan Ratna Mutu Manikam, Chip, Lintang adalah orang-orang yang merancang taktik cerdik agar Maryamah dapat menggerus Matarom di liga percaturan kampung. Pada akhirnya ia tidak hanya pintar main catur, bahkan menjadi juara tiga kali berturut-turut setiap tahunnya. Dalam hal ini, Maryamah telah menegakkan gender equality, dimana kedudukan antara laki-laki dan perempuan terkadang dapat disetarakan.
          Tokoh dalam novel ini tidak hanya melulu orang Melayu, tapi juga Cina dan orang bersarung. Penulis mengungkapkan bahwa pertemuan memang terjadi karena suatu alasan. Di novel pertama, Maryamah pernah diberi uang oleh Go Kim Pho ketika ia mencoba mencari peruntungan di Tanjong Pandan. Setelah bertahun-tahun, ia berjumpa lagi dengan pria paruh baya itu di arena percaturan. Maryamah memberikan permainan cantik walaupun akhirnya Go Kim Pho kalah, dan perempuan itu menepati janji lamanya untuk mengembalikan uang yang pernah diberikan pria Cina itu.
          Detektif M. Nur dan merpati kesayangannya adalah tokoh yang membuat cerita lebih bernyawa. Penulis memilih sebutan “bujang lapuk” bagi detektif M. Nur dan Ikal, dua bersahabat sejak kecil. Seperti pada tetralogi Laskar Pelangi, sosok Ikal yang terkadang merasa kecil akan kekurangan-kekurangan yang ia miliki, terutama perihal tinggi badan. Ikal akhirnya sadar bahwa tinggi badan yang ideal adalah bukan satu-satunya ukuran untuk orang dapat berbahagia, melainkan bersyukur. Kesadaran ini Ikal temukan melalui sahabatnya itu.
          Warung kopi dan catur adalah dua hal yang menarik untuk dibahas. Pada mozaik 29, terdapat kutipan “pelajaran moral nomor 22: kemiskinan susah diberantas karena pelakunya senang menjadi miskin (halaman 159)”. Penulis mengelompokkan berbagai jenis kopi yang digemari orang Melayu, salah satunya adalah kopi pahit. Tanpa gula sedikitpun. Ketika paman Ikal berbaik hati memberikan sedikit gula kepada si pemilik kopi pahit, mereka menolaknya. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka berpikir menjadi miskin adalah nasib yang tidak dapat dirubah. Mereka lebih menyukai kopi pahit, sepahit keadaan ekonomi mereka yang semakin menurun pasca maskapai timah gulung tikar. Mental demikian bisa jadi disebabkan karena selama bertahun-tahun mereka hidup miskin, dan berpikir bahwa segala sesuatu yang berbau manis hanya berhak dimiliki oleh orang kaya.
          Pada beberapa bagian, penulis juga menyinggung perihal keadaan ekonomi masyarakat Belitong pada umumnya. Mereka membutuhkan waktu dan tenaga yang ekstra untuk mendapatkan timah, karena yang mereka cari adalah sisa-sisa yang sebelumnya telah diraup oleh Belanda. Dalam hal ini, penulis menggambarkan bagaimana pengaruh ekonomi yang disebabkan oleh kolonialisme. Menurut Bill dkk (2002: 1), salah satu cara penyampaian penyebab kolonialisme adalah melalui karya sastra. Namun penulis tidak melulu mengungkapkan sisi negatif dari penjajahan, namun juga mengambil sisi positifnya. Bisa dilihat pada mozaik 7, bagaimana gigihnya Maryamah mempelajari bahasa Inggris sehingga ia menjadi lima lulusan terbaik. Juga pada mozaik 42, bagaimana paman Ikal memperkenalkan dua cerita berbahasa Inggris pada bocah berusia 4 dan 3 tahun, Ikal dan adiknya. Mereka terkagum-kagum melihat pamannya berbicara bahasa asing, walaupun sebenarnya ia sendiri pun tak mengerti sama sekali.
          Ciri khas penulis selain menggunakan frase ‘pelajaran moral nomor sekian’ adalah ‘penderita sakit gila nomor sekian’. Pada mozaik 8 terdapat kutipan “Sedangkan mereka yang meminta kopi saja, tanpa air, dan memakan kopi itu seperti makan sagon, adalah penderita sakit gila nomor 29 (halaman 40). Menurut saya, bagian ini adalah salah satu pemilik andil penting mengapa novelnya berjudul “Cinta di Dalam Gelas”. Ikal membagi penikmat kopi menjadi 4 jenis; player, safety player, semi-player dan ex-player. Semuanya memiliki takaran kopi, gula, susu dan berapa kali adukan yang harus dilakukan. Pada bagian ini tentu pembaca bisa mengikuti alur cerita dengan memprediksi kepada golongan apa mereka dapat dikelompokkan.
          “Tempo hari, Mursyiddin dan Maskur memegang gelas kopi dengan cara mencengkramnya. Ujung-ujung kelima jarinya menempel di gelas. Itu berarti mereka gelisah, tetapi tak berbuat. Berbeda dengan Muhlasin, ia menggenggam gelas kopi dan melepaskannya berulang kali. Ia melakukan itu sebenarnya untuk mengalirkan panas kopi dari telapak tangannya ke dalam hatinya yang dingin karena merasa bersalah” (halaman 70). Dalam penjabaran ini, penulis mengungkapkan motif tersembunyi yang mengakibatkan munculnya tingkah laku tokoh Mursyiddin, Maskur dan Muhlasin. Dalam teori sastra, hal ini dapat diklasifikasikan pada teori psikoanalisis,  yakni bahwa tema, konflik dan penokohan yang diangkat dalam karya sastra dianggap bersangkut-paut dengan cerminan kebutuhan, emosi atau keadaan jiwa (Musthafam 2008: 72).
          Diantara sekian tokoh, yang memiliki peran antagonis sekaligus protagonis adalah paman Ikal. Ia bisa meledak-ledak membahas kinerja pemerintah yang menurutnya tidak baik. Namun beberapa menit kemudian ia mengelu-elukan betapa sulitnya menjadi wakil rakyat yang bijaksana. Kedua pernyataan tersebut bisa dilihat pada mozaik 37. Ia memerankan tokohnya dengan adil, baik protagonis maupun antagonis.
          “Pejabat mencuri, korupsi, tertawa-tawa di televisi, kita diam saja! Tak pernah kita macam-macam. Pemerintah benar-benar tak punya perasaan! Politisi tak tahu adat! (halaman 200). “Aku tak habis mengerti, mengapa orang-orang gampang sekali mengata-ngatai pemerintah. Kalau bicara, sekehendak hatinya saja. Apa mereka kira gampang mengelola negara? Mengurusi ratusan juta manusia? Yang semaunya tak bisa diatur. Kalau mereka sendiri yang disuruh mengurusi negara, takkan becus juga!” (halaman 203).
          Sebagai reviewer, saya berpendapat novel ini dapat dibaca oleh remaja, dewasa dan orang tua. Karena didalamnya terdapat banyak kejadian yang membuat pembaca sadar bahwa dengan cinta dan perjuangan yang sesungguhnya, kita dapat meraih mimpi yang didambakan. Penulis menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan diselingi dengan gaya humor yang tidak berlebihan, hal ini menjadikan kelebihan tersendiri. Adapun kelemahannya, sebelum membaca novel ini ada baiknya yang tadinya buta akan catur, mengenalnya terlebih dulu karena catur pun berperan penting dalam perjuangan Maryamah.

Referensi
Ashcroft, Bill dkk. (2002). The Empire Writes Back. Routledge: Taylor and Francis e-Library.
Musthafa, Bachrudin. (2008). Teori dan Praktik Sastra dalam Penelitian dan Pengajaran. Jakarta: PT. Cahaya Insan Sejahtera.

Example post

Foto Nofisha Arianti.


[On track: Puisi-Jikustik 🎶]
Kapan lagi ku tulis untukmu
Tulisan-tulisan indahku yang dulu
Pernah warnai dunia
Puisi terndahku hanya untukmu...
Mungkinkah kau kembali lagi
Menemaniku menulis lagi
Kita arungi bersama
Puisi terindahku hanya untukmu. .
.
.
.
Writing poem without you is like drinking black coffee alone. Delicious, but bitter at the end. Ugh.