9/2017

Hello 2018!
Kuingin cerita dibalik kesembilan foto #bestnine 2017. Ini hanya ulasan agar si empunya cerita tidak lupa dengan beberapa bagian perjalanan di hidupnya. Jadi mohon maaf jika ada pihak-pihak yang tersinggung.

Foto ke-1Momen yang ditunggu-tunggu setelah perjalanan 4 tahun mondar-mandir Majalengka-Cirebon. Merasakan harunya wisuda disaksikan oleh orangtua, yang selama ini gak hanya mendukung dengan materi, tapi juga do’a dan menegur untuk lekas tidur saat malam-malam panjang (begadang). Mungkin bagi kebanyakan mahasiswa heboh karena skripsi, seakan ratusan mata kuliah lainnya kurang berpengaruh. Tapi setelah kurasakan sendiri bagaimana perjalanan dari semester 1 hingga 8, semua mempunyai level stres yang berbeda. Kalau ingat semester awal lucu juga, karena aku bagaikan alien yang memaksa masuk ke kehidupan manusia. Oke, mungkin lebay. Tapi ini kisah nyata. Latar pendidikan aku dari TK-SMA semuanya umum. Dan tiba-tiba aku masuk kampus yang di dalamnya ada PPTQ (Pusat Pengembangan Tilawatil Qur’an), Praktek Ibadah, yang mana harus lulus dengan nilai sekian karena sebagai persyaratan KKN atau PPL. Belum lagi mata kuliah yang sangat asing: Ushul Fiqh, Akhlak Tasawuf, Mashadir Tarbawiyah.  Tapi Alhamdulillah, semuanya terlewatkan.

Foto ke-2. Teman dari jaman SMA, ehem. Okelah, dia masuk di kampus yang cukup tenar. Tapi aku wisuda lebih dulu dengan IPK yang memadai dan embel-embel lainnya, ehehe (sombong!). Katanya Maret tahun ini wisuda. Semoga bisa gantian jadi tukang foto di acara wisudaannya. See ya!

Foto ke-3. Teman terdekat di kelas PBI-C. Gak tau persis bagaimana awalnya kita bisa akrab. Paling bingung nentuin kalau mau jajan atau makan. Pasti berdiri sekian menit di dekat gerbang dengan muka bingung, rutin. Kita bukan anak yang tergolong up-to-date, apalagi touch up di kelas (bahkan di luar kelas). Keuntungannya adalah nampak awet muda, semoga selalu.

Foto ke-4. Semacam kondangan juga reunian kecil-kecilan teman SMP. Karena acara pernikahan ini setelah hari raya, bagi yang merantau kerja atau kuliah masih libur, jadilah kita berkumpul. “Oh, kamu yang dulu suka telat ya,” “Oh, kamu yang duduknya di depan ya”. Dan “oh” lainnya diikuti dengan tawa.

Foto ke-5. Momen hari raya idul fitri. Mamah kalau foto suka gak fokus dan ‘kehilangan’ mata. Entah saking sipitnya atau apa, apalagi kalau senyum. Jadilah anaknya pun begitu. Lebaran taun ini cukup dilema. Lega karena skripsi selesai, bingung karena jadi gak ada kerjaan. 

Foto ke-6. Muka lega setelah revisi skripsi rampung. Diantara 11 mahasiswa yang sidang di tanggal 31 Mei, ada 4 orang yang baru mendapatkan tanda tangan persetujuan di tanggal 19 Juni. Jangan tanya yang lain, pastinya lebih dulu dan lebih mudah. Tapi berkat adanya percikan-percikan drama, jadi ada yang patut dikenang. Apalagi waktu itu bertepatan dengan bulan puasa. Menahan dahaga dan emosi karena gak dapet-dapet tanda tangan. Allahuakbar!

Foto ke-7. Sekeping cerita manusia (sok) cheerful. Foto diambil ketika bukber kelas di salah satu cafe di cirebon. Gak tau kenapa mereka manggil kelasnya cheerful (dan aku adalah bagian dari mereka). Entah memang ingin cerita atau karena mengisi waktu luang (karena gak punya kerjaan), aku posting beberapa foto dari mereka, lengkap dengan deskripsi masing-masing.

Foto ke-8. Numpang foto karena si mojang Kuningan (Devi) berhasil bikin bunga dari flanel. Sebetulnya dulu ada beberapa rencana bisnis sama mojang yang satu ini. Pernah bikin bros dan hasil jualnya minim, selesai. Download segala tutorial kreasi dari flanel, bubar juga. Malasnya itu loh, hih!

Foto ke-9. Ini sebenarnya foto lama yang ku upload karena Teteh lagi ulangtahun. Jarang foto karena kita LDR wkwk. Tapi Teteh satu-satunya ini hampir tiap pulang pasti menghibahkan novelnya untuk adik perempuan yang juga satu-satunya.



Dua Puluh Lebih Dua

Rabu, 29 November 2017, Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) berusia 46 tahun. Bertepatan dengan itu, aku genap berumur 22 tahun. Well, meskipun umurku beda jauh dengan Korpri, tapi tetap aja gak bisa dibilang muda lagi. Selama itu pula Allah selalu memberikan rezki, yang kadang aku gak sadar dan akhirnya ku berkata “coba kalo gini ya”, “coba kalo gitu ya”, dan coba-coba yang lainnya. Hingga akhirnya satu demi persatu kumulai coba paham dan nerima segalanya, eakkks.

Tahun kapan Mamah pernah cerita gimana proses kelahiran anak keempatnya, yaitu aku. Rabu, 29 November 1995 pukul 7.00 WIB aku tau dunia. Waktu itu bapak masih sebagai pegawai di dinas pendidikan, jadi harusnya beliau ikut serta dalam peringatan hari Korpri. Tapi jadilah mendampingi Mamah di salah satu rumah bidan di Leuwimunding, Majalengka. Kini baru kusadari, setiap tahun ternyata tanggal 29 November selalu diperingati oleh para PNS. Satu nilai lebih, karena gak semua orang bisa bertepatan lahir dengan hari nasional. Mungkin itu juga yang mengantarkanku kuliah di jurusan keguruan. Walaupun awalnya hanya sebuah pelarian belaka.

Lima tahun lalu, setelah kutahu tidak berhasil masuk ke kampus dan jurusan yang kutuju, kuputuskan kuliah di salah satu universitas negri di kota udang. Dari SMP aku suka bahasa Inggris, tapi suka belum tentu bisa. Lalu kaka perempuanku sering kasih buku bacaan, dominan novel dan kumpulan cerpen. Entah kenapa aku jadi pengen masuk ke sastra Inggris, yang mana akhirnya tidak dikabul untuk program sarjana. Finally, buntut namaku diikuti dengan S.Pd.

Selama SMA ada orang-orang yang sejenis aku. Maksudnya doyan baca fiksi. Tapi ada juga orang-orang yang memandang fiksi dengan sebelah mata. Jadi menurut mereka, ilmu pasti adalah takaran pas yang gak bisa ditawar. Mungkin karena alasan ini pula, program kelas Bahasa di angkatanku dihapus karena kurangnya peminat. Kalau gak salah hanya sekitar kurang dari sepuluh orang, aku di dalamnya. Jadilah aku masuk IPA. Aku ingat satu momen, lagi musimnya ujian. Entah mid semester atau ulangan harian biasa. Rata-rata temanku baca buku catatan atau pelajaran, atau jajan-jajan, atau ngobrol ngalor-ngidul sembari menunggu bel masuk. Tapi aku malah baca novel. Lalu satu temenku bilang, “Heran ya, mau ulangan malah baca novel”. Disitu aku merasa jadi abnormal. Temanku yang satu itu adalah salah satu pengikut ilmu pasti. Aku tau dia hanya bercanda, tapi gak tau kenapa aku yakin suatu saat dari sekedar baca novel bisa bermanfaat.

Ketika masuk kuliah, akhirnya pertanyaan-pertanyaan selama SMA terurai satu demi satu. Aku bersyukur bisa kenal teori-teori sastra meskipun di jurusan keguruan. Dan gak hanya teori, menganalisis langsung karya sastra juga lumayan mendominasi. Segala mata kuliah dilahap, dan aku sampai pada kesimpulan bahwa memang membaca fiksi ada manfaatnya, bisa jadi lebih keren malah daripada ilmu pasti. Aku juga sangat bersyukur bisa gabung di salah satu lembaga pers, dan bertemu orang-orang hebat. Imajinasiku semakin luas, dan akhirnya aku tidak hanya sebagai konsumen tapi juga produsen. Meskipun masih amatir dan sering malas produksi, semoga terus menulis.

Memang tulisan ini random sekali. Menclak-menclok teu puguh rupa. Tapi intinya ini adalah sekilas perjalanan 22 tahunku. Terimakasih keluarga, sahabat, kawan dan mas-mas yang ada di Purwokerto, telah mendampingiku sejauh ini. Do'a terbaik untuk kalian. Semoga selalu dalam lindungan-Nya. Aamiin.


Lama vs Baru

Lama vs Baru 
pic adapted from
https://id.wikipedia.org/wiki/Manusia_Setengah_Salmon_(film) 
Sutradara : Herdanius Larobu
Produser : Chand Parwez Servia
Fiaz Servia
Penulis : Raditya Dika
Pemain : Raditya Dika, Eriska Reinisa, Soleh Solihun, Kimberly Ryder, Dewi Irawan, Bucek Depp. Insan, Nur Akbar, Dinda Hauw, Sylvia Fully, Mo Sidik
Tanggal rilis : 10 Oktober 2013

         Bukan film holic, tapi selalu penasaran kalau ada novel yang digugah jadi film. Orang-orang bilang, pasti beda antara versi novel dan film. Kamu juga gak mau disama-samain tuh, ehem. momennya pas banget besok senin, jadi malam ini masih bisa refresh otak untuk baca atau nonton yang berbau komedi. Nama Raditya Dika sudah gak asing lagi, apalagi buat para anak muda yang sering galau. Ketika baca atau nonton karyanya, pasti akan bilang, “gila. Gue banget!”. Pertama kali lihat novel manusia setengah salmon tuh waktu SMA, temenku yang baca. Waktu itu aku sama sekali gak tertarik buat minjem, karena judul dan covernya yang menurutku aneh. Tapi setelah lihat filmnya, amazing! Komedi yang bergizi. Ternyata penulis gak secara cuma-cuma mencantumkan salmon di judulnya.
         Rumah adalah saksi kenakalan gua waktu masih kecil. Rumah juga saksi dimana gua dan adik bermain. Rumah juga saksi kejadian yang seram, seperti waktu pembantu gua kesurupan. Tapi tetep, rumah buat gua adalah segalanya. Tempat gua pulang, berlindung. Seperti ikan salmon yang kembali ke tempat mereka bertelur. Seberapapun beratnya perjalanan itu. Pembukaan prolog yang membuat aku sebagai penonton seperti terlempar ke masa lalu. Teringat kakak-kakakku yang merantau dan pasti kembali pulang saat hari raya tiba. Teringat adik yang kalau ada selalu berantem, tapi kalau dia asik main diluar jadi kangen. Dari bagian ini juga membuat penonton mengerti bahwa dika mengumpamakan ikan salmon sebagai objek dalam ceritanya kali ini.
         Pindahan. Deadline. Percintaan. Aku menemukan tiga kata kunci yang berperan disini. sebagai anak sulung, tentu Dika merasakan nyamannya tinggal di rumah lebih dulu dan lebih dalam dibanding dengan keempat adiknya. Ketika niatan orangtuanya yang ingin pindah rumah, ia kontras menolak. Dika seorang penulis yang sedang dikejar deadline, yang seolah selalu dibuntuti oleh editornya yang diperankan oleh Mo Sidik percintaannya yang kandas ditengah jalan, dan masih jalan di tempat.
         Sakit hati. Jomblo. Gagal move on. Ciri khas dika kiranya seputar tiga kata itu. di cerita ini ia masih belum bisa move on dari mantan pacarnya, Jessica, yang diperankan oleh Eriska Rein tiga tahun menjalin hubungan nampaknya memang sudah banyak kenangan yang telah dibuat. Seperti ketika ia dalam proses pedekate dengan patricia, teman lamanya, ia masih saja mengingat jessica. “Kalau kita mau pindah ke tempat yang baru, kita harus siap meninggalkan yang lama”. Ujar sang mamah ketika ia menemukan foto-foto Jessica di mejanya.
      Aku itu bukan bisa move on, tapi aku harus move on. Ya kalo nggak, aku cuma disni-sini aja dan kita juga gak bisa kemana-mana. Ini cara aku menghargai apa yang kita punya dan ngambil pelajaran dari situ untuk dipake dihubungan aku yang sekarang. Begini ucapan jessica ketika ia bertemu dika di sebuah kafe. Ketika itu, jessica sedang akan makan malam bersama pacarnya. Pasti kebayang dong ya, gimana rasanya liat mantan udah punya pacar baru. Sedangkan kita masih saja hidup di masa lalu. Dan pindahan ke sopir baru, yang ternyata memiliki masalah bau ketiak yang sangat tidak sedap.
      Salah satu kebiasaan Dika di akhir pekan adalah main futsal, tapi kini beberapa kali ia juga menemani mamahnya untuk mencari rumah baru. Di suatu hari, ia kaget melihat papanya sedang berdongeng dikerumuni teman-teman futsalnya. Papa yang lupa bahwa kamu sudah besar sekarang. Dulu waktu kau kecil, kau yang minta kawani aku main. Sekarang terbalik. Aku yang minta kau kawani main. Waktu terlalu cepat perginya dika.Dibagian ini aku merasa tersindir. Karena memang kurasa sering asik main sendiri.
Dari keempat adik dika, yang paling aku suka adalah si bungsu Edghar, yang diperankan oleh Griff Pradapa yang paling menarik adalah gaya bicaranya. Si sulung dika disadarkan oleh edgar melalui pidato perpisahan yang ia ujarkan saat latihan. Kelas 6 SD adalah saat yang paling membahagiakan untuk hidup saya. Saya bisa kenal banyak teman dan saya yakin tidak akan lupa kepada tman-teman saya disini. Berat pasti rasanya untuk saya meninggalkan sekolah dan teman-teman saya disini. Tapi perpisahan harus terjadi, UAN harus terjadi. Kita hrs segera pindah ke sekolah yang baru . Di sekolah yang baru pasti kita akan ketemu teman-teman yang baru yang mungkin lebih baik dan yang lebih keren. Tapi bertemu dg yg baru bukan berarti kita melupakan yang lama. awalnya pasti susah, tapi perpindahan pasti ada terus. Saya sudah siap untuk pindah. Pindah sekolah, pindah teman, karena saya yakin ada yang lebih baik di tempat yg lebih baru.
Dari sekian banyak kekonyolan, ini adalah adegan yang romantis. Ketika dika mengejar patricia ke stasiun dan mengatakan,“Aku belajar banyak, aku belajar dari pindahan rumahku. Dan pada awalnya Pasti ngerasa gak nyaman inget rumah yg lama. Tapi aku mendingan pindah. Aku mendingan pindah ke kamu. Kamu itu rumah buat aku. Kamu mau nggak ngebolehin aku buat tinggal disana?”.
Setelah dihantui editor dan beberapa kali edit, akhirnya novel dika terbit. Ketika acara launching, ia menyimpulkan,“dan kalau suatu saat gua harus pindah rumah lagi ya gua gapapa, karena perpindahan adalah bagian dari kehidupan kita sgb manusia. Dan kita akan selalu terjeabk diantara perindahan-perpindahan ini”.
Seperti untuk berpindah dari satu peran ke peran yg lain. Dulu orangtua yang ngejagain kita, sekarang kita yang ngejagain mereka. Pindah kebiasaan. Seperti mencoba untuk lebih jujur sama orang lain dan belajar sama-sama dari situ. Juga untuk pindah dari apa yg kita pikir kurang baik buat kita menjadi yang terbaik buat semuanya. Karena dalam hidup kita akan selalu berpindah. Yang bisa kita lakukan mencari kebahagiaan diantara semua perpindahan ini.
Dari film ini aku menyimpulkan bahwa pindahan bukan sesuatu yang menakutkan, bukan sesuatu yang harus dihindari. Kalau merasa takut tempat baru akan membawa pengaruh buruk, belum tentu tempat lama memberi pengaruh baik. Film ini layak untuk ditonton semua kalangan, karena latarnya juga menampilkan kehidupan keluarga. Jadi, aku udah berani pindah belum ya (?)

    

Javier: Novel di Dalam Novel (Kontrasnya Kelas Sosial)

Javier: Novel di Dalam Novel (Kontrasnya Kelas Sosial)
Judul : Javier
Penulis  : Jessica Huwae
Penerbit  : Bentang Pustaka
Jumlah halaman : viii + 264 halaman + 20,5 cm
Nomor ISBN :  978-602-291-076-3

Pic. Nofisha Arianti
   Javier adalah seorang penulis novel yang prestasinya cemerlang, bukunya laris di pasaran, mendapat berbagai penghargaan sampai tahap internasional, pun memiliki istri yang bertawa renyah, Duma. Tapi akhir-akhir ini semua kecemerlangan itu lenyap satu-persatu. Ditinggal istiri, dan menjadi penulis karirnya diujung tanduk karena deadline yang menyempit, siapa yang kira? Karena terus didesak oleh editornya, Rosi, Javier minggat ke puncak Bogor untuk mencerahkan pikirannya ditemggat deadline yang tinggal 30 hari. Namun tentu saja ada orang yang masih menyayanginya, Saosan. Sahabat yang menaruh hati padanya.
          “Kawasan ini pernah bergeliat walau sesaat, sebelum menjelma menjadi seperti orangtua yang ditinggalkan anak-anaknya merantau ke tempat-tempat yang jauh. Menjadi tua dan kesepian.” (halaman 32). Salah satu kekuatan Jessica dalam menulis setting adalah menggambarkannya secara detail dan memakai perumpamaan. Seakan pembaca berada tempat yang dijelaskan, seolah pembaca merasakan apa yang diumpamakan.
          “Asal mau berusaha, hidup akan menyediakan segalanya” (halaman 49). Ucapan kalimat ini dicetuskan oleh Ganes, seorang pria yang merasa dikhianati oleh dunia. Ia tak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, juga kekasihnya yang lebih memilih kawin kontrak untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Yang pada akhirnya ditemukan tewas. Kini Ganes menjadi pegawai untuk menawarkan villa kepada para pengunjung puncak. Javier merasa puas dengan villa dan harga yang ditawarkannya. Selagi pak Tohir, pengurus villa yang membersihkan dan menyiapkan segala sesuatunya, Javier dan Ganes makan siang bersama dan saling bertukar cerita.
       Bagian satu sampai dengan sebelas, Jessica mengenalkan Javier serta seluk-beluk kehidupannya. Ia berasal dari keluarga broken home, karena ibu dan ayahnya beda agama. Meski telah berusaha menerapkan toleransi, tapi sepertinya mereka menemukan jalan buntu. Jadilah Javier tumbuh tanpa agama, meski percaya adanya Tuhan. Pada bagian dua belas, Jessica mengenalkan cerita di dalam cerita. Disini Javier, sebagai penulis, mulai menceritakan karyanya. Salah satu inspirasi terbesarnya ia temukan melalui tumpukan buku, jurnal dan surat yang ia baca di rak buku milik si empunya villa.
        “Katanya, tempat bisa membawa perubahan yang berarti. Sekarang aku mengerti megapa Hemingway menyebut Havana sebagai tempat ynag inspiratif baginya untuk menulis” (halaman 69). Javier merasa keputusannya singgah di puncak adalah yang paling tepat karena ia bisa berjam-jam menulis sampai pinggangnya terasa pegal. Bagi beberapa orang mungkin tempat adalah elemen penting dalam proses menulis, tapi bagi saya tidak begitu. Saya sering bilang, “waktunya kurang pas”, atau “tempatnya gak asik”. Namun kadang ide muncul dimana saja dan kapan saja, yang harus dilawan adalah rasa malas.
       Javier adalah sosok pria yang cukup lihai memelihara perasaannya dan memendam rapat-rapat memorinya. “Jangan khawatir, Javier. Kamu orang baik. Kamu pasti akan segera menemukan orang yang sungguh-sungguh mengerti dirimu. Keadaanmu. Maafkan aku, ya.” (halaman 72). Potongan ini terjadi saat Duma membawa koper dan kamera SLRnya untuk meninggalkan rumah mungilnya bersama Javier. Pertemuannya dengan Duma dikisahkan sebagai cinta pandangan pertama. Mungkin cerita macam ini sudah banyak, tapi Jessica meramunya dengan cerdik. Di beberapa kalimat yang Javier ucapkan, si tokoh sendiri seakan tidak percaya akan adanya cinta pandangan pertama, tapi memang itulah yang terjadi kepadanya.
     “Pada dasarnya, usia memang tidak bisa membohongi pengalaman. Saat kau masih hijau, kau cenderung mengungkapkan dan menampakkan isi hatimu begitu jelas kepada semua orang. Itu sebabnya kau melakukan banyak kesalahan.” (halaman 94). Di beberapa bagian, penulis menggunakan kata ganti “kau”. Menurut saya, hal ini mengakibatkan kesan menggurui terhadap pembaca. Seperti pada potongan halaman 94, ketika Javier tiba-tiba bertemu Tanaya. Gadis berusia di awal dua puluhan, yang ternyata gadis pemilik villa. Ia tipe gadis kota besar yang manja dan meledak-ledak. Awalnya Javier merasa risih karena Tanaya tak jarang mengganggunya saat menulis. Namun akhirnya ia paham bahwa ia gadis yang kesepian yang sedang mencari perhatian.
        “Untuk menerima kenyataan bahwa dunia adalah tempat yang dingin dan kejam. Saat kami berpikir telah merderka dari kewajiban mengerjakan tugas dan membaca buku-buku kuliah, saat itulah sebenarnya kepolosan dan kebebasan kami terenggut” (halaman 97). Argumen ini dikemukakan oleh Javier saat mengbrol dengan Tanaya. Sebagai pembaca yang baru sidang skripsi, saya juga merasakannya. Membaca bagian ini seperti ada cermin tak kasat mata.
      “Walau kekuatan gravitasi telah mengkhianatinya, aku melihat tubuh tegapnya masih merekam kekuatan dan kejayaan pria itu pada masa muda. Aku mengira-ngira seperti apakah Tanaya akan menjalani hidup setelah mengetahui sejarah yang dipercayainya selama bertahun-tahun ternyata adalah rekaan yang diciptakan baginya” (halaman 235). Pada bagian ini, telah terjadi sesuatu yang besar bagi Tanaya. Akhirnya ia mengetahui bahwa ayah dan ibunya bukan meninggal karena kecelakaan, tapi lebih dari itu. Padma dan Bernadus Tirto, yang akhirnya mengganti nama dan identitasnya menjadi Yogi Tirta adalah pasangan yang dipisahkan karena srata sosial. Padma seorang anak jenderal Usman Abidin, yang tak lain adalah kakek Tanaya, tidak ingin memiliki menantu seorang bawahannya, yaitu Bernadus. Walaupun Padma telah hamil, ia malah dinikahi dengan seseorang yang tak pernah dikenalnya, seorang pengusaha kayu.
    Berbagai usaha telah dilalui oleh kedua anak muda itu, termasuk Bernadus meninggalkan kesatuannya sebagai prajurit TNI. Ia memilih menjadi pribadi yang baru, yang akhirnya menjadi pengusaha. Namun Padma seolah tidak tahan dengan semua keotoriteran Usman Abidin, ia merasa dibuang. Saat Padma tinggal di rumah budenya di villa yang ditempati Javier sekarang, ia memutuskan mengakhiri hidupnya dengan cara yang mengenaskan. Gantung diri. Selama hidup ia terus menulis surat dan tentang kehidupannya bersama Tanaya, yang tak pernah sampai kepada tangan Bernadus.
       Setelah perjalanan panjang yang dilaluinya, akhirnya Javier menepati deadline nya kepada Rosi. Dan Saosa, sahabatnya yang selalu memberi dukungan, kini menjadi kekasihnya. Javier kini membuktikan kepada Herman Harahap, kritikus sastra yang sering mencemoohnya lewat tulisan. Tiba-tiba Duma, mantan instrinya itu, menelpon untuk mengundanya ke acara pameran yang akan ia selenggarakan. Ya, sekarang mimpinya menjadi fotografer sudah terwujud.
“Kita bisa melakukan ini sekali lagi, Javier. Kita berdua, aku dan kamu”
Aku tidak berkunjung berkata apa-apa dan hanya menatap sepasang mata bening yang penuh harap itu, lama sekali (halaman 257). Ending ceritanya terasa menggantung, tapi saya tipe pembaca yang lebih suka jenis ini. Karena pembaca bisa bebas menentukan seperti apa akhirnya. Dan saya memutuskan Javier menolak Duma, karena sebelumnya ia mengatakan, “memberiku pilihan tepat pada saat aku telah membuat pilihan”.
        Jadi dapat disimpulkan bahwa penulis menuangkan dua ide certia dalam satu novel, dengan tema yang sama. Cinta yang dipisahkan oleh kelas sosial. Bedanya, Padma dan Bernadus pada masa-masa rusuh di Indonesia, terdapat beberapa potongan terjadinya kerusuhan. Sedangkan Javier dan Duma adalah kisah masa kini, dimana semua orang bebas menentukan pilihan dan pendapat. Tetapi makna bebas bukan berarti dapat melepas semaunya, dan menarik sekenanya. Kelas sosial ini bisa jadi disebabkan oleh adanya akibat kolonialisme, seperti yang telah saya review di novel Cinta di Dalam Gelas.

         
         


Corat-coret di Toilet: Buku Harian Milik Umum

Corat-coret di Toilet: Buku Harian Milik Umum
Judul : Corat-coret di Toilet
Penulis  : Eka Kurniawan
Penerbit  : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 125 halaman
Nomor ISBN :  978-602-03-0386-4
Tahun Terbit : April 2014

Pic. Nofisha Arianti
          Corat-coret di Toilet adalah salah satu kumpulan cerita pendek karya penulis Eka Kurniawan. Seperti Kurnia Effendi dalam cerpennya yang berjudul Relung Telinga, salah satu keunikannya adalah penulis tidak memberikan satupun nama pada setiap tokoh. Namun tentu saja mereka menjelaskan secara detail karakter dari masing-masing tokoh. Pada cerpen ini, dari judulnya saja dapat menarik minat pembaca untuk menengok lebih dalam apa saja tulisan yang dibuat, dan siapa saja yang terlibat. Setting tempat toilet tersebut terletak di suatu kampus, yang mana tentunya siapa saja boleh menggunakan karena bersifat umum.
          Tokoh pertama yang muncul adalah seorang anak punk yang dengan mulus menulis curhatannya di dinding toilet yang baru saja dicat krem. “Reformasi gagal total, Kawan! Mari tuntaskan revolusi demokratik!”. Lalu seorang mahasiswa tertarik untuk membalas celetukan si anak punk dengan sebuah pena. “Jangan memprovokasi! Revolusi tak menyelesaikan masalah. Bangsa kita mencintai kedamaian. Mari melakukan perubahan secara bertahap”. Dari kedua ujaran tersebut terlihat jelas penulis seolah mewakili isi hati masyarakat dari dua orang yang berbeda, anak punk dan mahasiswa.
          Tokoh yang ketiga berasal dari gadis tomboi, namun lipstik menjadi salah satu barang yang tersimpan rapi di dalam tasnya. Dengan barang itu pula ia menyalurkan aspirasinya. “Kau pasti antek tentara! Antek orde baru! Feodal, burjois, reaksioner goblok! Omong-kosong reformasi, persiapkan revolusi!” Lalu hujatan itu dibalas oleh seorang pria, yang bisa dikatakan playboy karena dia malah nyeletuk, “Hai, Gadis! Aku suka gadis revolusioner. Mau kencan denganku?” Dari tokoh pria yang satu ini, penulis berhasil menyisipkan humor ditengah-tengah celetukan yang membara.
          Tokoh berikutnya adalah gadis centil yang tidak hanya bermaksud untuk membuang hajat di toilet, namun mengolesi wajahnya dengan berbagai alat kosmetiknya. Melihat tulisan terakhir yang terpampang di dinding, ia pun tergoda untuk membalas dengan lipstik yang ia miliki, “Mau kencan denganku? Boleh! Jemput jam sembilan malam di cafe. NB: jangan bawa intel.” Dinding berwarna krem itu pun kini dihiasi oleh sejumlah coretan, seolah toilet itu memiliki fungsi lain, yaitu buku harian milik umum.
          Tokoh keenam berasal dari seorang pria yang memakai anting, bisa dibilang salah satu teman si anak punk. “Kawan, kalau kalian sungguh-sungguh revolusioner, tunjukkan muka kalian kalau berani. Jangan cuma teriak-teriak di belakang, bikin rusuh, dasar PKI!” Dari tegurannya itu seolah mencari aman karena takut terdengar oleh pemerintah. Waktu berlalu, kian hari kian semaraklah tulisan di dinding toilet itu. Hingga pada suatu hari toilet jadi jarang pengunjung karena ada satu oknum yang tidak memiliki etika: tidak membersihkan apa yang telah ia buang! Namun akhirnya ada mahasiswa heroik yang dengan rela melenyapkan barang menjijikan itu. Dengan spidol birunya, ia menulis, “Ini dia reaksioner brengsek, yang ngebom tanpa dibanjur! Jangan-jangan tak pernah cebok pula. Hey, Kawan, aku memang PKI: Penggemar Komik Indonesia. Kau mau apa, heh?” Gaya bahasa yang ia gunakan terdengar khas mahasiswa, yang meletup-letup jika bicara.
          Tokoh yang kedelapan adalah tipe mahasiswa yang patut akan aturan, tapi kali ini ia gemas bukan buatan melihat ukiran di dinding tanpa dosa itu. Akhirnya ia menulis, “Kawan-kawan, tolong jangan corat-coret di dinding toilet. Jagalah kebersihan. Toilet bukan tempat menampung unek-unek. Salurkan saja aspirasi Anda ke bapak-bapak anggota dewan.” Walaupun mahasiswa itu dengan selembut mungkin menyampaikan anjurannya, tapi penulis berhasil membuat keadaan kian nyinyir. Dari sekian celotehan, pada bagian akhir adalah favorit saya. Tulisan ini merupakan tanggapan dari mahasiswa berbudi luhur tadi. “Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya kepada dinding toilet”. Yang dibalas dengan jawaban yang sama, oleh orang yang berbeda-beda, “Aku juga”.
          Dari kalimat pendek “aku juga”, para pengunjung toilet seakan sepakat untuk menentang tulisan mahasiswa terakhir yang menganjurkan untuk menyalurkan aspirasi kepada anggota dewan. Melalui kisah yang pada umumnya orang pasti mengalami dan menemukan hal serupa, coret-coret di toilet, penulis menjadikan cerita ini sebagai bentuk aspirasi masyarakat. Dengan membaca cerpen ini saya sebagai pembaca, anggota masyarakat, dan reviewer merasakan pesan moral yang disampaikan oleh penulis, tapi tidak terkesan menggurui.
         

Cuaca: Menelaah Suasana Hati (Prosa dalam Filosofi Kopi)


Cuaca: Menelaah Suasana Hati
Pic. Nofisha Arianti

Judul : Cuaca dalam Filosofi Kopi (Kumpulan Cerita & Prosa Satu Dekade)
Penulis  : Dee (Dewi Lestari)
Penerbit  : Truedee Books & GagasMedia
Jumlah halaman : xi + 134 halaman ; 20,5 cm
Nomor ISBN :  979-96257-3-4
Tahun Cetakan : Cetakan 1, 2006

                            Cetakan 8, 2007
         Cuaca adalah salah satu prosa dalam kumpulan cerita Filosofi Kopi. Cerpen ini ditulis pada tahun 1998. Sebelum membaca prosa ini, umumnya pembaca mengenal kata mendung, cerah, berawan sebagai kategori kedalam cuaca. Saya sebagai pembaca pun telah memiliki prediksi bahwa prosa tersebut dapat dikaitkan dengan suasana hati. Prosa ini hanya terdiri dari dua halaman, tapi sangat padat makna tersirat di dalamnya.
          Bagaimana cuacamu?’
          ‘Aku biru’
          ‘Aku kelabu’ (halaman 85)
          Biru, termasuk ke dalam warna primer yang  mengalirkan semangat bagi yang melihat karena cerahnya yang sejuk di mata. Hal ini sesuai dengan hukum alam, dimana langit akan berwarna biru memancarkan kehangatan bagi makhluk di muka bumi. Sebaliknya, ketika ia sedih atau kesal, ia merubah warnanya menjadi kelabu. Maka dari itu, warna kelabu identik dengan bermuram durja. Kita biasanya menggunakan warna itu ketika sedang dilanda rindu, karena tak kunjung bertemu si dia. Atau bisa juga ketika mendapat masalah, yang tak kunjung menemukan solusinya.
          ‘Bagaimana cuacamu?’
          ‘Aku cerah, sama sekali tidak berawan. Kamu?’
          ‘Bersih dan terang. Tak ada awan.’ (halaman 86)
          Frase ‘sama sekali’ terdengar ingin meyakinkan lawan bicara bahwa  ia memang baik-baik saja. Namun belum tentu apa yang terucap itu adalah gambaran sesungguhnya yang ada di hati. Frase ‘bersih dan terang’ bisa saja memiliki arti sebenarnya sebagai ‘kotor dan gelap’. Dengan kata lain, orang yang memilih frase ini merupakan ironi.
        “Cuaca demi cuaca melalui kami, dan kebenaran akan semakin dipojokkan. Sampai akhirnya nanti, badai meletus dan menyisakan kejujuran yang bersinar. Entah menghangatkan atau menghanguskan” (halaman 86). Pada bagian penghujung prosa, sebagai pembaca saya merasa Dee mengingatkan pembacanya untuk jujur terhadap cuaca yang mereka pilih. Dengan kata lain, saya menyimpulkan ada dua tipe orang; si cerah dan si kelabu. Satu yang lebih memilih jujur walaupun menyakitkan, satu lainnya lebih memilih bohong dengan kehangatan yang semu.

Sikat Gigi: Pelarian Hati (Cerpen dalam Filosofi Kopi)



                     Sikat Gigi: Pelarian Hati

Pic. Nofisha Arianti
Judul : Sikat Gigi dalam Filosofi Kopi (Kumpulan Cerita & Prosa Satu Dekade)
Penulis  : Dee (Dewi Lestari)
Penerbit  : Truedee Books & GagasMedia
Jumlah halaman : xi + 134 halaman ; 20,5 cm
Nomor ISBN :  979-96257-3-4
Tahun Cetakan : Cetakan 1, 2006
                            Cetakan 8, 2007
          Sikat Gigi adalah salah satu cerpen dalam kumpulan cerita Filosofi Kopi. Cerpen ini ditulis pada tahun 1999. Ketika pertama kali membaca judulnya, saya sebagai pembaca dibuat penasaran tentang apakah cerpen ini akan bermuara. Dee memang terkenal sebagai penulis yang sering menyuguhkan cerita yang mencengangkan bagi para pembacanya.
          Seperti cerpen lainnya, tema besar dari cerpen ini adalah seputar kisah cinta. Lebih tepatnya si tokoh pria yang mencintai si tokoh wanita, namun si tokoh wanita masih mencintai pria yang entah sekarang di negeri antah-berantah sebelah mana. Namun tentu saja Dee memiliki kekhasan tersendiri dalam mengolah kisah cinta yang tragis itu. Egi, sebagai tokoh wanita dan Tio sebagai tokoh pria. Sedangkan si pria masa lalu tidak disebutkan namanya.
          “Dalam balutan jaketku Egi meringkuk. Sorot matanya masih melayang-layang. Aku tahu apa yang ia lamunkan, apalagi setelah mendengar helaan napasnya, tapi enggan aku bertanya. Buat apa mengungkit sesuatu yang hanya membuat pikiranku terganggu” (halaman 56). Ungkapan Tio pada bagian ini menjadi titik awal dimana pembaca paham bahwa Tio menaruh hati pada Egi, tapi tidak berbalas.
          Mereka telah bersahabat bertahun-tahun, walaupun keduanya memiliki kepribadiaan yang bertolak belakang. Egi, seorang pujangga yang jika mengungkapkan isi hati menggunakan kata-kata yang sulit dipahami oleh Tio. Seorang pria yang bergelar ET, yang mana mengedepankan rasional dan tak mau rugi. “Waktu saya menyikat gigi, saya tidak mendengar apa-apa selain bunyi sikat. Dunia saya mendadak sempit... Cuma gigi, busa dan sikat. Tidak ada ruang untuk yang lain. Hitungan menit, Tio, tapi berarti banyak” (halaman 58). Pada bagian ini, akhirnya pembaca tahu bahwa Egi menjadikan sikat gigi sebagai pelariannya. Ia memanfaatkan waktu berlama-lama untuk menyikat gigi agar melupakan si pria masa lalunya.
       “Saya tidak pernah mengerti dunia dalam lamunan kamu,” kata-kata itu akhirnya meluncur keluar, “pengaharapan yang kamu punya, dan kekuatan macam apa yang sanggup menahan kamu begitu lama di sana. Tapi kalau memang sikat gigi itu tiket yang bisa membawa kamu pulang, saya ingin kamu semakin lama menyikat gigi, semakin asyik, sampai moga-moga lupa berhenti. Karena berarti kamu lebih lama lagi di sini, di dunia yang saya mengerti. Satu-satunya tempat saya eksis buat kamu”.
          Tio mengungkapan perasaannya ketika Egi berulang tahun ke-27, dan ia memberikan kado sikat gigi. Tio merasa tidak tahan lagi terhadap pikiran Egi yang tidak pernah ia mengerti, kenapa pujangga itu selalu memikirkan pria yang belum tentu juga memikirkannya. Setelah malam itu, mereka, dua sahabat lama kini berjauhan seolah tak kenal satu sama lain. Dalam jarak satu tahun itu, Egi dan Tio sama-sama berpikir, dan pada akhirnya mereka tahu kemana cinta itu harus berlabuh. Ungkapan Egi berikut ini membuat pembaca tersenyum. “...Tapi ke mana pun saya pergi, kamu tetap orang yang paling nyata, paling berarti. Saya tidak mesti menyikat gigi untuk bisa pulang. Kamulah tiket sekali jalan”.

          Cerpen Sikat Gigi layak dibaca untuk remaja, dewasa dan orang tua. Ada sejuta kisah cinta serupa itu, tapi Dee meramunya dengan cara yang lain. Kisah Egi dan Tio mengingatkan pada kisah Ikal dan A Ling. Ikal berkata, “Dunia ini rupanya penuh dengan orang yang kita inginkan, tapi tak menginginkan kita, dan sebaliknya” (halaman 202). Tetapi pada akhirnya mereka mendapatkan akhir yang manis.