Cinta di Dalam Gelas: Cinta dan Perjuangan

Cinta di Dalam Gelas: Cinta dan Perjuangan


Pic. Nofisha Arianti
Judul : Cinta di Dalam Gelas
Penulis  : Andrea Hirata
Penerbit  : Bentang Pustaka
Jumlah halaman : vi +270 halaman; 20,5 cm
Nomor ISBN :  978-602-8811-09-5
          Novel kedua dwilogi Padang Bulan mengekspos betapa eratnya kaitan antara cinta dan perjuangan. Jika ada yang bilang, “cinta butuh perjuangan”, maka kisah Enong patut menjadi contohnya. Enong telah membuktikan bahwa dengan cinta dan perjuangan yang sesungguhnya, ia bisa merasakan sacrifice, honesty, freedom, tiga kata ajaib yang selalu membakar semangatnya.
          Cinta Maryamah yang tulus kepada seorang lelaki yang bernama Matarom tidak mendapat balasan yang sebagaimana mestinya, karena ia tipe lelaki yang memiliki peringai buruk. Maryamah memperjuangkan harga dirinya sebagai perempuan dengan mengalahkan sang juara catur selama dua tahun berturut-turut. Jika di Padang Bulan Maryamah menjadi pelopor perempuan pendulang timah yang pertama kali lahir, maka di novel kedua ia menjadi pelopor pecatur perempuan. Setelah bertahun-tahun lamanya, orang Melayu meyakini bahwa catur adalah urusan laki-laki saja. Melihat sejarah yang sedemikian rupa, tentu tidak mudah agar Maryamah dapat mengikuti lomba catur yang diadakan rutin setiap bulan Agustus itu. Ada orang-orang yang setia menemani dibalik layar.
          Selamot, Giok Nio dan Grand Master Ninockha Stronovsky adalah para perempuan yang mendukung Maryamah tanpa pamrih. Selain itu Ikal, Detektif M. Nur, preman cebol beserta masing-masing burung merpati mereka, Joze Rizal dan Ratna Mutu Manikam, Chip, Lintang adalah orang-orang yang merancang taktik cerdik agar Maryamah dapat menggerus Matarom di liga percaturan kampung. Pada akhirnya ia tidak hanya pintar main catur, bahkan menjadi juara tiga kali berturut-turut setiap tahunnya. Dalam hal ini, Maryamah telah menegakkan gender equality, dimana kedudukan antara laki-laki dan perempuan terkadang dapat disetarakan.
          Tokoh dalam novel ini tidak hanya melulu orang Melayu, tapi juga Cina dan orang bersarung. Penulis mengungkapkan bahwa pertemuan memang terjadi karena suatu alasan. Di novel pertama, Maryamah pernah diberi uang oleh Go Kim Pho ketika ia mencoba mencari peruntungan di Tanjong Pandan. Setelah bertahun-tahun, ia berjumpa lagi dengan pria paruh baya itu di arena percaturan. Maryamah memberikan permainan cantik walaupun akhirnya Go Kim Pho kalah, dan perempuan itu menepati janji lamanya untuk mengembalikan uang yang pernah diberikan pria Cina itu.
          Detektif M. Nur dan merpati kesayangannya adalah tokoh yang membuat cerita lebih bernyawa. Penulis memilih sebutan “bujang lapuk” bagi detektif M. Nur dan Ikal, dua bersahabat sejak kecil. Seperti pada tetralogi Laskar Pelangi, sosok Ikal yang terkadang merasa kecil akan kekurangan-kekurangan yang ia miliki, terutama perihal tinggi badan. Ikal akhirnya sadar bahwa tinggi badan yang ideal adalah bukan satu-satunya ukuran untuk orang dapat berbahagia, melainkan bersyukur. Kesadaran ini Ikal temukan melalui sahabatnya itu.
          Warung kopi dan catur adalah dua hal yang menarik untuk dibahas. Pada mozaik 29, terdapat kutipan “pelajaran moral nomor 22: kemiskinan susah diberantas karena pelakunya senang menjadi miskin (halaman 159)”. Penulis mengelompokkan berbagai jenis kopi yang digemari orang Melayu, salah satunya adalah kopi pahit. Tanpa gula sedikitpun. Ketika paman Ikal berbaik hati memberikan sedikit gula kepada si pemilik kopi pahit, mereka menolaknya. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka berpikir menjadi miskin adalah nasib yang tidak dapat dirubah. Mereka lebih menyukai kopi pahit, sepahit keadaan ekonomi mereka yang semakin menurun pasca maskapai timah gulung tikar. Mental demikian bisa jadi disebabkan karena selama bertahun-tahun mereka hidup miskin, dan berpikir bahwa segala sesuatu yang berbau manis hanya berhak dimiliki oleh orang kaya.
          Pada beberapa bagian, penulis juga menyinggung perihal keadaan ekonomi masyarakat Belitong pada umumnya. Mereka membutuhkan waktu dan tenaga yang ekstra untuk mendapatkan timah, karena yang mereka cari adalah sisa-sisa yang sebelumnya telah diraup oleh Belanda. Dalam hal ini, penulis menggambarkan bagaimana pengaruh ekonomi yang disebabkan oleh kolonialisme. Menurut Bill dkk (2002: 1), salah satu cara penyampaian penyebab kolonialisme adalah melalui karya sastra. Namun penulis tidak melulu mengungkapkan sisi negatif dari penjajahan, namun juga mengambil sisi positifnya. Bisa dilihat pada mozaik 7, bagaimana gigihnya Maryamah mempelajari bahasa Inggris sehingga ia menjadi lima lulusan terbaik. Juga pada mozaik 42, bagaimana paman Ikal memperkenalkan dua cerita berbahasa Inggris pada bocah berusia 4 dan 3 tahun, Ikal dan adiknya. Mereka terkagum-kagum melihat pamannya berbicara bahasa asing, walaupun sebenarnya ia sendiri pun tak mengerti sama sekali.
          Ciri khas penulis selain menggunakan frase ‘pelajaran moral nomor sekian’ adalah ‘penderita sakit gila nomor sekian’. Pada mozaik 8 terdapat kutipan “Sedangkan mereka yang meminta kopi saja, tanpa air, dan memakan kopi itu seperti makan sagon, adalah penderita sakit gila nomor 29 (halaman 40). Menurut saya, bagian ini adalah salah satu pemilik andil penting mengapa novelnya berjudul “Cinta di Dalam Gelas”. Ikal membagi penikmat kopi menjadi 4 jenis; player, safety player, semi-player dan ex-player. Semuanya memiliki takaran kopi, gula, susu dan berapa kali adukan yang harus dilakukan. Pada bagian ini tentu pembaca bisa mengikuti alur cerita dengan memprediksi kepada golongan apa mereka dapat dikelompokkan.
          “Tempo hari, Mursyiddin dan Maskur memegang gelas kopi dengan cara mencengkramnya. Ujung-ujung kelima jarinya menempel di gelas. Itu berarti mereka gelisah, tetapi tak berbuat. Berbeda dengan Muhlasin, ia menggenggam gelas kopi dan melepaskannya berulang kali. Ia melakukan itu sebenarnya untuk mengalirkan panas kopi dari telapak tangannya ke dalam hatinya yang dingin karena merasa bersalah” (halaman 70). Dalam penjabaran ini, penulis mengungkapkan motif tersembunyi yang mengakibatkan munculnya tingkah laku tokoh Mursyiddin, Maskur dan Muhlasin. Dalam teori sastra, hal ini dapat diklasifikasikan pada teori psikoanalisis,  yakni bahwa tema, konflik dan penokohan yang diangkat dalam karya sastra dianggap bersangkut-paut dengan cerminan kebutuhan, emosi atau keadaan jiwa (Musthafam 2008: 72).
          Diantara sekian tokoh, yang memiliki peran antagonis sekaligus protagonis adalah paman Ikal. Ia bisa meledak-ledak membahas kinerja pemerintah yang menurutnya tidak baik. Namun beberapa menit kemudian ia mengelu-elukan betapa sulitnya menjadi wakil rakyat yang bijaksana. Kedua pernyataan tersebut bisa dilihat pada mozaik 37. Ia memerankan tokohnya dengan adil, baik protagonis maupun antagonis.
          “Pejabat mencuri, korupsi, tertawa-tawa di televisi, kita diam saja! Tak pernah kita macam-macam. Pemerintah benar-benar tak punya perasaan! Politisi tak tahu adat! (halaman 200). “Aku tak habis mengerti, mengapa orang-orang gampang sekali mengata-ngatai pemerintah. Kalau bicara, sekehendak hatinya saja. Apa mereka kira gampang mengelola negara? Mengurusi ratusan juta manusia? Yang semaunya tak bisa diatur. Kalau mereka sendiri yang disuruh mengurusi negara, takkan becus juga!” (halaman 203).
          Sebagai reviewer, saya berpendapat novel ini dapat dibaca oleh remaja, dewasa dan orang tua. Karena didalamnya terdapat banyak kejadian yang membuat pembaca sadar bahwa dengan cinta dan perjuangan yang sesungguhnya, kita dapat meraih mimpi yang didambakan. Penulis menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan diselingi dengan gaya humor yang tidak berlebihan, hal ini menjadikan kelebihan tersendiri. Adapun kelemahannya, sebelum membaca novel ini ada baiknya yang tadinya buta akan catur, mengenalnya terlebih dulu karena catur pun berperan penting dalam perjuangan Maryamah.

Referensi
Ashcroft, Bill dkk. (2002). The Empire Writes Back. Routledge: Taylor and Francis e-Library.
Musthafa, Bachrudin. (2008). Teori dan Praktik Sastra dalam Penelitian dan Pengajaran. Jakarta: PT. Cahaya Insan Sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar