Sikat Gigi: Pelarian Hati (Cerpen dalam Filosofi Kopi)



                     Sikat Gigi: Pelarian Hati

Pic. Nofisha Arianti
Judul : Sikat Gigi dalam Filosofi Kopi (Kumpulan Cerita & Prosa Satu Dekade)
Penulis  : Dee (Dewi Lestari)
Penerbit  : Truedee Books & GagasMedia
Jumlah halaman : xi + 134 halaman ; 20,5 cm
Nomor ISBN :  979-96257-3-4
Tahun Cetakan : Cetakan 1, 2006
                            Cetakan 8, 2007
          Sikat Gigi adalah salah satu cerpen dalam kumpulan cerita Filosofi Kopi. Cerpen ini ditulis pada tahun 1999. Ketika pertama kali membaca judulnya, saya sebagai pembaca dibuat penasaran tentang apakah cerpen ini akan bermuara. Dee memang terkenal sebagai penulis yang sering menyuguhkan cerita yang mencengangkan bagi para pembacanya.
          Seperti cerpen lainnya, tema besar dari cerpen ini adalah seputar kisah cinta. Lebih tepatnya si tokoh pria yang mencintai si tokoh wanita, namun si tokoh wanita masih mencintai pria yang entah sekarang di negeri antah-berantah sebelah mana. Namun tentu saja Dee memiliki kekhasan tersendiri dalam mengolah kisah cinta yang tragis itu. Egi, sebagai tokoh wanita dan Tio sebagai tokoh pria. Sedangkan si pria masa lalu tidak disebutkan namanya.
          “Dalam balutan jaketku Egi meringkuk. Sorot matanya masih melayang-layang. Aku tahu apa yang ia lamunkan, apalagi setelah mendengar helaan napasnya, tapi enggan aku bertanya. Buat apa mengungkit sesuatu yang hanya membuat pikiranku terganggu” (halaman 56). Ungkapan Tio pada bagian ini menjadi titik awal dimana pembaca paham bahwa Tio menaruh hati pada Egi, tapi tidak berbalas.
          Mereka telah bersahabat bertahun-tahun, walaupun keduanya memiliki kepribadiaan yang bertolak belakang. Egi, seorang pujangga yang jika mengungkapkan isi hati menggunakan kata-kata yang sulit dipahami oleh Tio. Seorang pria yang bergelar ET, yang mana mengedepankan rasional dan tak mau rugi. “Waktu saya menyikat gigi, saya tidak mendengar apa-apa selain bunyi sikat. Dunia saya mendadak sempit... Cuma gigi, busa dan sikat. Tidak ada ruang untuk yang lain. Hitungan menit, Tio, tapi berarti banyak” (halaman 58). Pada bagian ini, akhirnya pembaca tahu bahwa Egi menjadikan sikat gigi sebagai pelariannya. Ia memanfaatkan waktu berlama-lama untuk menyikat gigi agar melupakan si pria masa lalunya.
       “Saya tidak pernah mengerti dunia dalam lamunan kamu,” kata-kata itu akhirnya meluncur keluar, “pengaharapan yang kamu punya, dan kekuatan macam apa yang sanggup menahan kamu begitu lama di sana. Tapi kalau memang sikat gigi itu tiket yang bisa membawa kamu pulang, saya ingin kamu semakin lama menyikat gigi, semakin asyik, sampai moga-moga lupa berhenti. Karena berarti kamu lebih lama lagi di sini, di dunia yang saya mengerti. Satu-satunya tempat saya eksis buat kamu”.
          Tio mengungkapan perasaannya ketika Egi berulang tahun ke-27, dan ia memberikan kado sikat gigi. Tio merasa tidak tahan lagi terhadap pikiran Egi yang tidak pernah ia mengerti, kenapa pujangga itu selalu memikirkan pria yang belum tentu juga memikirkannya. Setelah malam itu, mereka, dua sahabat lama kini berjauhan seolah tak kenal satu sama lain. Dalam jarak satu tahun itu, Egi dan Tio sama-sama berpikir, dan pada akhirnya mereka tahu kemana cinta itu harus berlabuh. Ungkapan Egi berikut ini membuat pembaca tersenyum. “...Tapi ke mana pun saya pergi, kamu tetap orang yang paling nyata, paling berarti. Saya tidak mesti menyikat gigi untuk bisa pulang. Kamulah tiket sekali jalan”.

          Cerpen Sikat Gigi layak dibaca untuk remaja, dewasa dan orang tua. Ada sejuta kisah cinta serupa itu, tapi Dee meramunya dengan cara yang lain. Kisah Egi dan Tio mengingatkan pada kisah Ikal dan A Ling. Ikal berkata, “Dunia ini rupanya penuh dengan orang yang kita inginkan, tapi tak menginginkan kita, dan sebaliknya” (halaman 202). Tetapi pada akhirnya mereka mendapatkan akhir yang manis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar